Banyak orang yang berpikiran bahwa profesi dosen itu, salah satu profesi atau tugas mulia dan pekerjaan yang bisa menyejahterakan. Ya, memang kenyataannya demikian. Dosen salah satu tugas mulia dan posisinya sama dengan profesi guru karena tujuan utamanya untuk memanusiakan manusia, baik menjadi manusia yang dewasa pengetahuan maupun menjadi manusia yang dewasa akhlaknya. Namun, tidak semua orang yang berprofesi dosen bisa dikatakan bahwa hidupnya sejahtera. Apalagi dikatakan terjamin. Hal tersebut bergantung pada masing-masing kebijakan perguruan tinggi. Khususnya perguruan tinggi yang berlabel swasta yang dikelolah pihak tertentu dalam naungan yayasan. Berbicara seputar kampus swasta bernaung di bawah yayasan, terkadang ada yang dapat /tidak dapat menyejahterakan dosennya. Sekali lagi saya tegaskan, itu semua bergantung kebijakan masing-masing pengelolah yayasannya.
Pada kesempatan ini saya ingin bercerita pengalaman. Ya, sekadar berbagi saja. Saat ini, saya berprofesi sebagai dosen tetap yayasan. Alhamdulillah, tugas sebagai dosen (tri darma perguruan tinggi) melaksanakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian telah saya tunaikan walaupun tidak sebaik jika dibandingkan dengan dosen-dosen senior atau dosen-dosen yang setara dengan saya yang sudah bersandang "Dosen Profesional" yang dibukatikan dengan selebaran sertifikat. Namun, ada hal yang menjadi pembeda antara saya dengan teman lainnya yang profesinya juga sebagai dosen tetap yayasan, namun berbeda yayasan dengan saya. Pembedanya ialah mereka digaji setiap bulannya sesuai pangkat akademik yang dimilikinya, misalnya asisten ahli, ia tetap dibayar Rp. 2.500.000,- (sebagai gaji pokok), itu belum termasuk tunjangan lainnya; tunjangan hari raya, tunjangan kesehatan, dan tunjangan lainnya.
Beda dengan saya, nihil. Tidak menerima apa-apa. Saat ini saya sedang studi doktor di Pulau Jawa atas bantuan studi pemerintah dalam program BPP-DN. Bagi saya, seandainya ingin kuliah doktor atas biaya sendiri, ya, mungkin sampai saat ini saya belum lanjut studi karena faktor dana. Mendapatkan beasiswa saja, sebagian teman-teman yang jelas juga menerima gaji pokok sebagai dosen tetap yayasan masih terkadang mengeluh karena mengira beasiswa yang diberikan belum cukup dan tidak bisa menutupi kebutuhan. Apalagi dengan saya, yang jelas-jelas tidak mendapat gaji pokok. Sejak saya terdaftar sebagai dosen tetap yayasan, memang saya tidak pernah mendapat apa-apa dari kampusku, terutama gaji pokok bulanan. Malah, seingat saya, saya yang memberi kepada kampus saya. Buktinya, beberapa bulan yang lalu saya mendapat dana hibah disertasi dari pemerintah pusat. Seharusnya dananya saya terima 100%. Tetapi, pihak kampus memotongnya 10% dengan alasan sebagai biaya operasional dan alasan yang bermacam-macam. Padahal setahu saya, di dalam aturan penggunaan dana dari pusat, tidak dipeboleh ada pemotongan dari pihak mana pun karena dana tersebut sudah jelas pos penggunaannya. Ya, aku pasrahkan saja. Asalkan risikonya bukan saya yang tanggung. Jujur, saya sebenarnya tidak ikhlas dan tidak rela ada pemotongan. Apalagi tidak bersesuaian dengan aturan. Bahkan beberapa teman yang menerima hibah tidak sepersen pun dari dana mereka dipotong dari pihak manapun. Ya, entahlah!
Saat sekarang ini saya sedang konsentrasi banyak belajar, mengolah mental, dan tentu mengumpulkan uang untuk persiapan ujian tertutup dan terbuka (promosi doktor) yang konon katanya, kedua jenjang ujian itu membutuhkan dana yang banyak dan tidak cukup jika mengharapkan beasiswa satu semester. Apalagi banyak kebutuhan lain yang penting dipenuhi. Sekira tiga bulan yang lalu, ketika saya di daerah, saya sempat memasukkan proposal permohonan bantuan dana penyelesaian studi di pemerintah kabupaten saya. Namun, hasilnya nihil. Sebab, untuk mendapatkan bantuan harus didampingi orang-orang dalam atau mendekati orang-orang khusus. Payah, ya! Akhirnya, saya pasrahkan saja dengan alasan tidak ingin menggunakan sistem pendekatan, jangan sampai saya dikira menggunakan pendekatan politik anggaran.
Seminggu setelah itu, saya juga memasukkan proposal permohonan bantuan penyelesaian studi di yayasan kampus tempat saya terdaftar sebagai dosen tetap yayasan. Saya berharap pasti permohonan saya direspon dan akan diberi bantuan karena posisi saya sebagai dosen yayasan, tentu berpengaruh. Apalagi setelah saya selesai studi, tentu saya diharapkan kembali mengabdi dan mengambil bagian untuk pengembangan kualitas kampus khususnya di prodi saya. Setelah saya memasukkan proposal permohonan bantuan saya, ya, harapan saya minimal bantuan biaya ujian terbuka doktor yang diberikan, itu sudah lebih dari cukup. Kalau dikira-kirakan, ya, sekira Rp. 10.000.000,- (Sepuluh juta rupiah) seperti pengalaman jumlah yang diberikan bantuan kepada teman sejawat saya ketika juga mengajukan permohonan penyelsaian studi doktor.
Beberapa hari setelah proposal permohonan saya diterima, saya pun dipanggil oleh salah seorang pengurus yayasan untuk menerima dananya. Namun, waktu itu bukan uang tunai yang saya terima. Tetapi, selebaran semacam cek. Di atas cek itu bertuliskan angka nominal Rp 3.000.000,- (tiga juta rupiah). Dalam hatiku bergumam, "Semua ini wajib disyukuri. Syukuri apa yang ada".
Ya, ternyata lain daripada harapan. Semoga ini adalah keadilan. Jika dibandingkan dengan teman dosen tetap yayasan yang berbeda kampus dengan saya, mereka tidak demikian. Malah ada yang menerima bantuan dari yayasan sebanyak Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) bantuan dari kampusnya/yayasan. Padahal, kalau dilihat kampus teman saya tidak berbeda dengan kampus yang saya tempati. Ya, entahlah! Bantuan yang saya terima itu, bagi teman-teman saya mengatakan, "Wah dengan uang segitu, itu mah bukan bantuan penyelesaian studi. Tetapi, bantuan pindah kampus atau jangan-jangan biaya beli motor untuk kamu pakai gojek". Ya, ya, benar juga ya! Inilah kenyataannya. Di sela-sela keseriusan saya menyelesaikan disertasi, saya pun meluangkan waktuku untuk "ngojek" untuk mencari tambahan biaya sekaligus cari pengalaman. Meskipun motor yang saya pakai bukan motor sendiri. Tetapi, meminjam motor teman yang lagi free pada hari Sabtu dan Minggu (karena kedua hari itu dia kuliah). Sebenarnya, memang saya pernah berencana untuk beli motor. Tetapi, saya berpikir lebih baik uangnya saya gunakan untuk kebutuhan lainnya. Selain jadi tukang gojek, saya sesekali juga bekerja sebagai editor buku di beberapa jasa penerbitan buku sekaligus ikut-ikutan juga menulis dengan harapan tulisan saya nantinya dapat berbuah rupiah. InsyAllah semuanya akan indah pada waktunya.
Sebenranya, apa yang saya alami ini bukanlah sebuah keluhan. Akan tetapi, bagi saya merupakan pengalaman yang menyiratkan motivasi dengan sebuah pernyataan singkat bahwa "jangan selalu mengharapkan sesuatu atau jangan terbiasa bergantung pada sesuatu". Beberapa teman yang telah mendengar cerita saya ini, sebagian dari mereka ada yang menawarkan kepada saya untuk pindah ngajar ke kampus tempatnya mengajar dengan gaji yang cukup menjanjikan. Apalagi menurut penilaian teman saya, saya orangnya potensitif dan memiliki motivasi tinggi untuk berkembang. Katanya, selain saya kreatif bekerja, saya juga produktif dalam berkarya, khususnya menulis dengan bukti beberapa tulisan saya telah terbit-cetak ke dalam buku. Tidak hanya teman saya yang menawarkan pindah. Tetapi, malah salah seorang dosen saya (seorang professor) menawarkan dan siap memberikan rekomendasi untuk pindah homebase ke sebuah kampus swasta ternama dan cukup menjanjikan. Namun, dari beberapa tawaran tersebut, belum ada yamg saya tanggapi (terima). Yang saya pikirkan saat ini, hanya berusaha untuk merampungkan studi. Persoalan tempat akhir mengabdi setelah selesai studi, itu persoalan rejeki dari Allah. Semuanya telah terlukiskan. Namun jika ditanya teman, saya lebih memilih untuk kembali mengabdi di tanah kelahiranku. Meskipun tenaga, potensi, dan daya kreatif lewat karya saya, terkadang tidak dihargai atau tidak diperhatikan dari pihak kampus saya. Semuanya saya pasrahkan. Saya tidak ingin mematahkan semangat berkarya yang telah terpatri dan bahkan sudah mendarahdaging terlumpuhkan karena hanya tidak mendapat balasan. Bagi saya, biarlah Allah yang membalasnya.
"beribu-ribu bintang di langit, pasti ada salah satunya yang lebih terang dan menawan"
"seindah apapun negeri orang lain, tentu lebih indah negeri kelahiranku".
Hanya Tuhan yang tahu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar