Minggu, 04 Februari 2018

SANG PROFESSOR: MENELADANI KEPRIBADIAN BAPAK PROF. DR. SETYA YUWANA SUDIKAN, M. A.




Bapak Prof. Dr.  Setya Yuwana Sudikan, M. A., akrab disapa oleh teman sejawatnya atau teman seperjuangannya di dunia akademisi,  Pak Yu,  sedangkan masiswanya,  Prof. Yu. Namanya telah meng-Indonesia berkat buah pikirnya yang dipublikasikan lewat buku. Di Pulau Jawa,  khususnya di Jawa Timur dalan lingkup birokrasi dan akademisi,  tidak ada yang tidak mengenalnya.  Hal tersebut dikarenakan kecerdasannya karena sering mengisi berbagai acara, baik formal maupun tidak formal. Selain itu,  dikarenakan kebaikannya terhadap semua orang tanpa membeda-bedakan berdasarkan status sosial seseorang.  Selama saya kuliah di Unesa,  bagi saya, Prof.  Yu adalah salah seorang dosen yang unik. Unik karena tidak ada duanya dan tentu karena kebaikannya berbeda dengan dosen lain. 

Ketika saya saya semester 1, ketika kali pertamanya melihat beliau,  saya sangat segan terhadap beliau karena penampilannya yang tegas.  Tidak hanya itu,  saya juga merasa takut karena suaranya ketika berbicara lumayan meras.  Bahkan awalnya saya tidak pernah berpikir untuk menyusun laporan disertasi dibawa bimbingan beliau.  Alasannya,  karena ketegasannya itu bisa saja saya sulit mendekatinya.  Tetapi,  apa yang saya pikirkan terhadap beliau sangat bertentangan dengan kenyataan.  Malah ketika penentuan rencana topik penelitian, saya berkordinasi langsung dengan beliau.  Sebab,  untuk mengkaji penelitian bidang sastra,  tentu harus berhadapan dengan beliau.  Sebab, memang beliau dikenal pakarnya sastra. 

Setelah memasuki masa studi semester 2, saya pun lebih intensif menemuinya dengam maksud bimbingan atas rencana penelitian saya.  Meskipun,  sampai tujuh kali ganti topik karena belum adanya ketepatan teori dan kosnep menurut beliau.  Sedikitpun saya tidak pernah mengalami kesurutan semangat,  sebab saya selalu meyakinkan dalam diri,  bahwa ini adalah proses yang mesti saya lewati.  Apalagi cara membimbing beliau, bagi saya sangat menyenangkan. Selain mengarahkan saya untuk membacaca berbagai referensi yang direkomendasikan,  beliau juga malah meminjamkan bukunya untuk saya rujuk.  Meminjamkan buku kepada saya tidak hanya sekali.  Akan tetapi,  berkali-kali. Bukan saja kepada saya dipinjamkan buku.  Tetapi,  semua mahasiswa bimbingannya.  Bahkan mahasiswa yang bukan bimbingannya pun dipinjamkan bukunya. Beliau berprinsip,  bahwa buku-buku yang beliau beli,  tidak hanya semata-mata untum dipelajari dirinya sendiri dan dijadikan bahan koleksi.  Akan tetapi,  menurutnya,  selain khususnya diajarkan, juga untuk dipinjamkan kepada mahasiswa. Hak tersebut untuk memudahkan kelancaran studi mahasiswa. Menurutnya,  sudah beberapa buku yang dipinjamkan  kepada mahasiswa,  ada yang tidak kembali dengan alasan hilang atau tercecer. Hal tersebut,  tidak menjadikan beliau pantang untuk tifak meminjamkan lagi buku-bukunya kepada mahasiswanya.  Siapa yang butuh buku,  tetap beliau pinjamkan. 


Selama saya dibimbing oleh beliau,  ada beberapa hal yang sangat mengesankan bagi saya. Khususnya dalam hal kebutuhan buku referensi dan "mungkin" beda bagi teman-teman mahasiswa lainnya. 

Ketika itu,  saya sangat membutuhkan sebuah buku yang saya bagi beliau wajib saya baca.  Namun,  buku milik beliau hilang. Di perpustakaan Unesa pun tidak ada.  Bahkan saya sudah search secara online di berbagai perpustakaan online milik kampus ternama di Indonesia,  seperti di UGM,  UI,  Unhas,  Udayana,  Unair,  USU,  dan di UM Malang.  Namun,  tidak saya temukan. Seingat beliau,  buku itu hanya dimiliki oleh seorang temannya yang kebetulan dosen UI yang sudah purnabakti dan sekarang menetap di Malang. 

Ketika itu,  saya berkehendak ke Malang menemui dan meminjam bukua ke dosen teman yang beliau maksud.  Namun,  beliah mencegah saya,  takutnya tidak akan dipinjamkan. Apalagi saat itu saya mendesak tiba-tiba harus pulang ke Sulawesi.  Akhirnya, buku itu pun tidak bisa saya miliki dan baca. 

Beberpa hari setelah saya di daerah,  beliau menelpon, menanyakan alamat lengkap saya di Wajo.  Ternyata,  buku yang yang saya butuhkan,  beliau yang langaung menghubungi temannya itu dan meminta supaya buku itu dicopykan,  lalu dikirim dari Malang ke Surabaya.  Selanjutnya,  buku itu dikirim dari Surabaya ke Wajo.  Sungguh,  luar biasa.  Saya tidak tahu dengan cara apa nantinya saya membalas baik budi beliau.  Ya,  itulah keunikan beliau yang tentu tidak dimiliki oleh orang atau dosen lain.  Hanya Allah yang membalasnya melalui doa-doa yang terpanjtakan dari mahasiswanya termasuk saya. 

Tidak hanya itu kebaikan beliau.  Secara pribadi,  beliau itu sosoknya luar biasa.  Istilah yang sering saya sapakan kepadanya "Prof.  Laris". Artinya, laris karena keseringannya diundang sebagai narasumber di berbagai acara,  baik di dalam kota Surabaya,  maupun di luar kota Surabaya.  Bahkan di luar pulau Jawa.

Bagi saya,  keunikan dan kebaikannya tidak hanya sebatas meminjamkan buku.  Akan tetapi,  sangat dermawan terhadap siapa pun.  Ketika saya makan bersama di kantin,  beliau tidak ingin dibayarkan. Malah dia marah dan ingin beliau yang membayarkan. Bahkan orang-orang yang beliau kenal khususnya pergawai atau temannya sesama dosen,  beliau pun yang membayar. Kali setiap saya ke kampus,  saya sering diajak ke kantin makan dan bahkan sering "ngopi" bersama.  Terkadang,  saya menolak,  namun beliau pun meminta saya untuk menemaninya.

Tidak hanya sebatas itu.  Bagi saya,  selama saya dimbimbing beliau,  saya tidak hanya dijadikan sebatas mahasiswa,  bahkan sebagai asisten pribadi.  Sebab,  kali setiap beliau akan keluar kota untuk menghadiri undangan,  baik memberi kuliah ataupun undangan sebagai narasumber,  saya pun sering diajak menemani dan mendampingi beliau.  Bahkan diangkat sebagai sopir pribadinya. Berkat beliau,  saya mendapatkan banyak pengalaman hidup.  Termasuk berkat beliau saya bisa bertemu langsung dengan beberapa tokoh Indonesia,  Gubernur Jawa Timur,  menteri,  dan sastrawan Indonesia, seperti Fikar D.  Weda, Taufik Ismail,  KH.  ZawaWi Imron,  Calzioum Bahchri, dan sastrawan Indoensia lainnya. 

Selama dibimbing beliau, sudah beberapa kota yang saya kunjungi karena diajak mendampingi sekaligis menyopiri beliau.  Adapun kota yang pernah saya kunjungi bersama beliau,  di anataranya Kota Semarang, Yogyakarta,  Bendowoso, Banyuwangi,  Ponorogo,  Malang,  Pasuruan, dan Pulau Madura. Pokoknya,  banyak kesan dan kenangan sejak bersama beliau.  Bagi saya kepribadian dan sosoknya sangat patut diteladani.  Selama saya bersama beliau,  beliau tidak hanya sebatas mengajarkan pengetahuan berdasarkan ilmu yang saya tekuni dan teliti.  Akan tetapi,  juga mengajarkan berbagai hal,  di antaranya bagaimana menjadi seorang pemimpin yang ideal,  bagaiaman saya berinteraksi dalam lingkungam kerja dan masyarakat, dan bahkan mengajari saya hal-hal yang berbauh politik yang santun.  Luar biasa!  Bagi saya, sejak dimbimbing,  saya tidak hanya menganggap beliau sebatas dosen saya. Akan tetapi,  sebagai orang tua yang tidak pernah berhenti mengajari saya tentang arti sebuah kehidupan.  Beliau bagaikan mata air yang tidak pernah kering ditimba,  karena samgat bermanfaat bagi semua orang.  Sebab,  sebaik-baik manusia ialah mereka yang bermanfaat bagi sesamanya.



TERNYATA PROFESIKU SEBAGAI DOSEN TIDAK SEPERTI YANG MEREKA PIKIRKAN: SEBUAH CATATAN PENEGASAN KEADAAN YANG SEBENARNYA



Banyak orang yang berpikiran bahwa profesi dosen itu, salah satu profesi atau tugas mulia dan pekerjaan yang bisa menyejahterakan. Ya,  memang kenyataannya demikian. Dosen salah satu tugas mulia dan posisinya sama dengan profesi guru karena tujuan utamanya untuk memanusiakan manusia,  baik menjadi manusia yang dewasa pengetahuan maupun menjadi manusia yang dewasa akhlaknya. Namun,  tidak semua orang yang berprofesi dosen bisa dikatakan bahwa hidupnya sejahtera. Apalagi dikatakan terjamin. Hal tersebut bergantung pada masing-masing kebijakan perguruan tinggi.  Khususnya perguruan tinggi yang berlabel swasta yang dikelolah pihak tertentu dalam naungan yayasan. Berbicara seputar kampus swasta bernaung di bawah yayasan, terkadang ada yang dapat /tidak dapat menyejahterakan dosennya.  Sekali lagi saya tegaskan, itu semua bergantung kebijakan masing-masing pengelolah yayasannya. 
Pada kesempatan ini saya ingin bercerita pengalaman. Ya,  sekadar berbagi saja.  Saat ini, saya berprofesi sebagai dosen tetap yayasan.  Alhamdulillah,  tugas  sebagai dosen (tri darma perguruan tinggi)  melaksanakan pendidikan,  penelitian,  dan pengabdian telah saya tunaikan walaupun tidak sebaik jika dibandingkan dengan dosen-dosen senior atau dosen-dosen yang setara dengan saya yang sudah bersandang "Dosen Profesional" yang dibukatikan dengan selebaran sertifikat.  Namun,  ada hal yang menjadi pembeda antara saya dengan teman lainnya yang profesinya juga sebagai dosen tetap yayasan,  namun berbeda yayasan dengan saya.  Pembedanya ialah mereka digaji setiap bulannya sesuai pangkat akademik yang dimilikinya,  misalnya asisten ahli,  ia tetap dibayar Rp.  2.500.000,- (sebagai gaji pokok), itu belum termasuk tunjangan lainnya; tunjangan hari raya,  tunjangan kesehatan, dan tunjangan lainnya. 

Beda dengan saya,  nihil.  Tidak menerima apa-apa. Saat ini saya sedang studi doktor  di Pulau Jawa atas bantuan studi pemerintah dalam program BPP-DN.  Bagi saya,  seandainya ingin kuliah doktor atas biaya sendiri,  ya,  mungkin sampai saat ini saya belum lanjut studi karena faktor dana.  Mendapatkan beasiswa saja,  sebagian teman-teman yang jelas juga menerima gaji pokok sebagai dosen tetap yayasan masih terkadang mengeluh karena mengira beasiswa yang diberikan belum cukup dan tidak bisa menutupi kebutuhan. Apalagi dengan saya, yang jelas-jelas tidak mendapat gaji pokok. Sejak saya terdaftar sebagai dosen tetap yayasan, memang saya tidak pernah mendapat apa-apa dari kampusku, terutama gaji pokok bulanan.   Malah, seingat saya,  saya yang memberi kepada kampus saya.  Buktinya, beberapa bulan yang lalu saya mendapat dana hibah disertasi dari pemerintah pusat.  Seharusnya dananya saya terima 100%. Tetapi,  pihak kampus memotongnya 10% dengan alasan sebagai biaya operasional dan alasan yang bermacam-macam.  Padahal setahu saya, di dalam aturan penggunaan dana dari pusat,  tidak dipeboleh ada pemotongan dari pihak mana pun karena dana tersebut sudah jelas pos penggunaannya.  Ya,  aku pasrahkan saja. Asalkan risikonya bukan saya yang tanggung. Jujur, saya sebenarnya tidak ikhlas dan tidak rela ada pemotongan. Apalagi tidak bersesuaian dengan aturan. Bahkan beberapa teman yang menerima hibah tidak sepersen pun dari dana mereka dipotong dari pihak manapun. Ya,  entahlah!

Saat sekarang ini saya sedang konsentrasi banyak belajar,  mengolah mental, dan tentu mengumpulkan uang untuk persiapan ujian tertutup dan terbuka (promosi doktor)  yang konon katanya,  kedua jenjang ujian itu membutuhkan dana yang banyak dan tidak cukup jika mengharapkan beasiswa satu semester.  Apalagi banyak kebutuhan lain yang penting dipenuhi. Sekira tiga bulan yang lalu, ketika saya di daerah,  saya sempat memasukkan proposal permohonan bantuan dana penyelesaian studi  di pemerintah kabupaten saya.  Namun,  hasilnya nihil. Sebab, untuk mendapatkan bantuan harus didampingi orang-orang dalam atau mendekati orang-orang khusus. Payah,  ya! Akhirnya,  saya pasrahkan saja dengan alasan tidak ingin menggunakan sistem pendekatan,  jangan sampai saya dikira menggunakan pendekatan politik anggaran. 

Seminggu setelah itu,  saya juga memasukkan proposal permohonan bantuan penyelesaian studi di yayasan kampus tempat saya terdaftar sebagai dosen tetap yayasan.  Saya berharap pasti permohonan saya direspon dan akan diberi bantuan karena posisi saya sebagai dosen yayasan, tentu berpengaruh. Apalagi setelah saya selesai studi, tentu saya diharapkan kembali mengabdi dan mengambil bagian untuk pengembangan kualitas kampus khususnya di prodi saya. Setelah saya memasukkan proposal permohonan bantuan saya, ya,  harapan saya minimal bantuan biaya ujian terbuka doktor yang diberikan,  itu sudah lebih dari cukup.   Kalau dikira-kirakan, ya,  sekira Rp.  10.000.000,-  (Sepuluh juta rupiah)  seperti pengalaman jumlah yang diberikan bantuan kepada teman sejawat saya ketika juga mengajukan permohonan penyelsaian studi doktor. 

Beberapa hari setelah proposal permohonan saya diterima,  saya pun dipanggil oleh salah seorang pengurus yayasan untuk menerima dananya.  Namun,  waktu itu bukan uang tunai yang saya terima.  Tetapi,  selebaran semacam cek. Di atas cek itu bertuliskan angka nominal Rp 3.000.000,- (tiga juta rupiah).  Dalam hatiku bergumam,  "Semua ini wajib disyukuri. Syukuri apa yang ada". 

Ya,  ternyata lain daripada harapan.  Semoga ini adalah keadilan. Jika dibandingkan dengan teman dosen tetap yayasan yang berbeda kampus dengan saya, mereka tidak demikian. Malah ada yang menerima bantuan dari yayasan  sebanyak Rp.  20.000.000,- (dua puluh juta rupiah)  bantuan dari kampusnya/yayasan.  Padahal,  kalau dilihat kampus teman saya tidak berbeda dengan kampus yang saya tempati. Ya,  entahlah! Bantuan yang saya terima itu, bagi teman-teman saya mengatakan, "Wah dengan uang segitu, itu mah bukan bantuan penyelesaian studi.  Tetapi,  bantuan pindah kampus atau jangan-jangan biaya beli motor untuk kamu pakai gojek". Ya,  ya,  benar juga ya!  Inilah kenyataannya. Di sela-sela keseriusan saya menyelesaikan disertasi,  saya pun meluangkan waktuku untuk "ngojek" untuk mencari tambahan biaya sekaligus cari pengalaman. Meskipun motor yang saya pakai bukan motor sendiri.  Tetapi,  meminjam motor teman yang lagi free pada hari Sabtu dan Minggu (karena kedua hari itu dia kuliah). Sebenarnya, memang saya pernah berencana untuk beli motor.  Tetapi,  saya berpikir lebih baik uangnya saya gunakan untuk kebutuhan lainnya. Selain jadi tukang gojek,  saya sesekali juga bekerja sebagai editor buku di beberapa jasa penerbitan buku sekaligus ikut-ikutan juga menulis dengan harapan tulisan saya nantinya dapat berbuah rupiah.  InsyAllah semuanya akan indah pada waktunya. 


Sebenranya,  apa yang saya alami ini bukanlah sebuah keluhan.  Akan tetapi,  bagi saya merupakan pengalaman yang menyiratkan motivasi dengan sebuah pernyataan singkat bahwa "jangan selalu mengharapkan sesuatu atau jangan terbiasa bergantung pada sesuatu". Beberapa teman yang telah mendengar cerita saya ini,  sebagian dari mereka ada yang menawarkan kepada saya untuk pindah ngajar ke kampus tempatnya mengajar dengan gaji yang cukup menjanjikan.  Apalagi menurut penilaian teman saya,  saya orangnya potensitif dan memiliki motivasi tinggi untuk berkembang. Katanya, selain saya kreatif bekerja,  saya juga produktif dalam berkarya, khususnya menulis dengan bukti beberapa tulisan saya telah terbit-cetak ke dalam buku.  Tidak hanya teman saya yang menawarkan pindah. Tetapi, malah salah seorang dosen saya (seorang professor)  menawarkan dan siap memberikan rekomendasi untuk pindah homebase ke sebuah kampus swasta ternama dan cukup menjanjikan.  Namun, dari beberapa tawaran tersebut,  belum ada yamg saya tanggapi (terima). Yang saya pikirkan saat ini,  hanya berusaha untuk merampungkan studi.  Persoalan tempat akhir mengabdi setelah selesai studi,  itu persoalan rejeki dari Allah. Semuanya telah terlukiskan. Namun jika ditanya teman, saya lebih memilih untuk kembali mengabdi di tanah kelahiranku.  Meskipun tenaga,  potensi,  dan daya kreatif lewat karya saya, terkadang tidak dihargai atau tidak diperhatikan dari pihak kampus saya. Semuanya saya pasrahkan.  Saya tidak ingin mematahkan semangat berkarya yang telah terpatri dan bahkan sudah mendarahdaging terlumpuhkan karena hanya tidak mendapat balasan.  Bagi saya,   biarlah Allah yang membalasnya. 

"beribu-ribu bintang di langit, pasti ada salah satunya yang lebih terang dan menawan"

"seindah apapun negeri orang lain,  tentu lebih indah negeri kelahiranku".

Hanya Tuhan yang tahu! 





KULIAH SAMBIL MENULIS: MENULIS SEBAGAI PROSES PENGUNGKAPAN EKSPRESI DAN PEKERJAAN


Sejak mendapatkan wejangan berupa motivasi kepenulisan dari Kang Sutejo, alhamdulillah,  di sela-sela kesibukan saya menyelesaikan tugas kuliah,  saya pun tidak berhenti menulis. Menulis apa saja. Khususnya menulis buku. Namun, sampai saat ini saya lebih banyak menulis yang bernuansa fiksi. Fiksi begenre puisi. Jika dihitung sejak bertemu Kang Sutejo sampai hari ini, saya telah menulis 4 (empat) buah buku solo (puisi)  dan beberapa artikel yang dimuat dalam buku kumpulan.  Twrmasuk menulis artikel jurnal.  Bagi saya,  menulis adalah suatu proses pengungkpan ekspresi dan emosi melalui lambang-lambang bahasa yang tersusun secara maknatif dan tentu dengan proses kreatif-selektif dalam memilih kata.  Jika tulisan kita dibaca orang banyak dan dapat diamalkan bagi mereka,  maka tulisan tulisan tersebut bermnafaat.  Maka dengan demikian,  menulis bukan saja sebatas sebagai pengungkapan ekapresi.  Akan tetapi,  menulis adalah ibadah.  Selain itu,  bagi saya,  menulia adalah pekerjaan.  Sebab,  ketika tulisan kita dimuat di media dan tentu akan dibauar sebagai penulis. Oleh karena itu,  menulis adalah pekerjaan.  Hal tersebut berani saya katakan karena berdasar dari pengalaman pribadi saya.

Beberapa bulan yang lalu,  saya diminta oleh salah seorang teman saya yang kebetulan bekerja di sebuah media massa "koran harian" untuk menulis opini dengan topik tertentu.  Saya pun menanggapi positif permintaan teman tersebut dengan menulis. Tulisan saya itu pun lalu saya kirimkan dan keesokan harinya terbit. Setelah itu,  keesokan harinya, teman saya pun menelpon meminta nomor rekening. Saya bertanya,  "Wah,  untuk apa,  Saudara?".
"Saya mau mengirim uang untuk honor menulis kamu". Jeaslnya.
Dalam hati saya berucap,  "Alhamdulillah,  kalau rejeki,  pasri tidak kemana".

Pengalaman kedua:
Beberapa bulan yang lalu saya juga pernah menulis artikel jurnal penelitian untuk diterbitkan ke dalam buku kumpulan laporan penelitian. Saya sudah tahu sebelumnya,  bahwa siapa pun yang menulis,  asalkan tulisannya diterima "bermutu" akan dibayar.  Sekira dua bulan setelah saya mengirim artikel jurnal saya tersebut,  saya pun diberi honor menulis dikirim via rekening pribadi saya.  Alhamdulillah,  jumlahnya lumayan untuk jajan,  beli 3-5 eksemplar buku,  sekaligus beli lipstik istri.  Heheh...

Dengan pengalaman menulis dan berprofesi sebagai seorang penulis,  bahi saya adalah pengalaman yang sungguh luar biasa.  Apalagi bisa berbagi waktu kuliah sambil menulis.  Sebab menulia tidak hanya sebagai kegiayan untuk berekspresi.  kan tetapi,  juga sebagai pekerjaan yang membuahkan hasil,  kepuasan rasa,  batin dan kepuasan materi.

GURU LITERASI: BELAJAR DARI KEPRODUKTIFAN KANG SUTEJO (CATATAN MOTIVASI MENULIS)

Ketika saya berkunjug di salah satu kota yang cukup terkenal karena julukannya sebagai "Kota Reok", tepatnya di Kabupaten Ponorogo pada pertengahan Oktober 2016. Kegiatan kunjugan saya saat itu bukan karena keinginan saya sendiri.  Akan tetapi,  diajak oleh dosen pembimbing saya.  Selain menemani beliau, juga saya diamanahkan untuk menjadi sopir dengan alasan beliau tidak sanggi mengendara mobil di medan yang jauh. Bagi saya, perjalanan saya waktu itu  adalah  satu anugrah istimewa. Sebab,  di kota tersebut saya bertemu dengan salah seorang akademisi yang hebat.  Selain,  sebagai dosen di salah satu perguruan tinggi di Kota Reok tersebut, beliau juga seorang penulis dan motivator hebat. Tidak hanya itu.  Beliau juga memiliki perpustakaan pribadi yang cukul besar, namun di dalamnya memiliki ratusan,  bahkan jutaan judul koleksi buku. 

Sebut saja namanya,  Sutejo. Saya menyapanya Kang Sutejo.  Saya berbeda umur belasan tahun dengan biau.  Beliau lebih tua dibandingkan saya. Beliau merupakan kakak senior saya di univeristas tempat saya menempuh pendidikan doktor. Bahkan pembimbing saya sama dengan beliau, Bapak Prof.  Dr. Setya Yuwana Sudikan,  M. A. - Beliau saat ini suadah  menyandang  gelar doktor, Dr. Sutejo,  M. Hum. 
Menurut Prof. Yu (pembimbing saya),  Kang Sutejo merupakan salah seorang mahasiswanya yang sangat cerdas dan produktif karena aktif menulis buku.  Bahkan sudah ratusan tulisan beliau telah dimuat di berbagai media cetak ternama, baik lokal maupun nasional. 
Hal yang membuat saya bangga terhadap beliau,  ialah selain aktif menulis, beliau juga telah mendirikan sebuah wadah kepenulisan "Sekolah Literasi Gratis" yang telah banyak menelorkan ratusan penulis dari kalangan mahasiswanya sendiri dan dari guru,  baik dalam daerah Kabupaten Ponorogo,  maupun dari luar. 

Ada beberapa hal yang sangat mengesankan bagi saya ketika berkunjung di perpustakaan pribadi milik Kang Sutejo, yaitu selain mendapatkan kenang-kenangan berupa buku karya tulis beliau (kalau tidak salah, ketika itu saya mendapat 21 judul/eksemplar buku), juga mendapatkan ceramah ilmiah trik-trik menulis dan mengajarkan saya untuk membuka kelas menulis seperti yang brliau gagas. Namun,  hal yang sangat mengesankan bagi saya,  ketika waktu itu kami hendak beristirahat,  saya diberikan wejangan yang singkat, namun sangat luar biasa dan padat kesannya dalam sebuah percakapan singkat. 
  "Jangan selesaikan studi doktormu,  jika belum menulis apa-apa". Tegas Kang Sutejo.  
Saya pun bertanya dengan sedikit bimbang,  "Menulis apa-apa itu,  maksudnya apa, Kang?  Disertasi?".
"Bukan. Disertasi itu tulisan yang mutlak bagi mereka yang ingin menyandang gelar doktor.  Disertasi itu sifatnya formalitas dan sebatas aturan akademik.  Semua orang yang kuliah doktor,  pasti bisa menulis disertasi karena itu kewajiban. Kecuali jika berhenti karena memang tidak sanggup menyelesaikan disertasi itu atau berhenti karena pelbagai alasan.  Jika tidak bisa menulis disertasi, tentu gelar doktornya pun tidak bisa disandang." Jawab Kang Sutejo dengan nada meyakinkan. 
Untuk menghilangkan kebingunan saya,  saya pun kembali bertanya dengan nada penasaran,  "Lalu,  maksud Kang Sutejo,  menulis apa?"

Dengan senyum simpul,  Kang Sutejo menjelaskan denhan mengulangi sebagian pernyataan sebelumnya,  "Jangan sekali-kali keluar dari Unesa apalagi menyandang gelar doktor,  jika tidak menulis buku.  Apakah itu buku non-fiksi, fiksi atau opini-opini yang menggugah yang menghasilkan uang karena dibayar setelah dimuat di media.  Pokoknya,  menulislah! Menulis apa saja. Namun,  saya sarankan menulis buku. Mas (sapaan Kang Sutejo kepada saya) harus beda dengan mahasiswa doktor lainnya. Semua yang bergelar doktor, pasti bisa menulis disertasi.  Namun,  tidak semua yang doktor bisa menulis buku. Demikian halnya juga menulis artikel jurnal. Menulis artikel jurnal itu adalah tuntutan akademik dan pasti semua dosen apalagi doktor,  bisa menulis artikel jurnal.  Tetapi,  belum tentu bisa menulis buku." 
Saya pun hanya terdiam meresapi sambil mengangguk-angguk karena pesan pernyataan Kang Sutejo tersebut, bagi saya sangay menyentuh. 

Setelah saya bertemu Kang Sutejo,  pesan yang beliau sampaikan kepada saya merupakan wejangan yang sangat istimewa.  Bahkan bagi saya,  pernyataan tersebut sebuah cambuk motivasi untuk memicu saya untuk terus belajar dan banyak menulis.  Alahmdulillah,  sejak itu juga saya memulai banyak menulis.   

SYUKURI APA YANG ADA: CATATAN SANG PEMIMPI



Profesi saya saat ini adalah seorang dosen yang sedang ditugasbelajarkan  atas rekomendasi dari salah satu kampus yang cukup ternama di daerah saya. Di kampus tersebut,  namaku terdaftar sebagai Dosen Tetap Yayasan (DTY). Saat ini saya sedang tahap perjuangan merampungkan studi doktor (S-3) di salah satu perguruan ternama di Jawa Timur. Tepatnya di kota yang dijuluki "Kota Pahlawan".

Bagi saya, dan mungkin semua orang berpikiran bahwa untuk menyelesaikan pendidikan tingkat tinggi (S-3), sungguh tidak mudah.  Tentu membutuhkan banyak pengorbanan.  Bukan hanya pengorbanan berupa daya mental,  waktu,  dan kekuatan fisik.  Akan tetapi, juga sangat membutuhkan materi yang lumayan banyak. Tetapi,  hal yang membuat saya bersyukur, karena saya bisa melanjutkan pendidikan berkat bantuan biaya dari pemerintah.  Namun,  tampaknya bantuan tersebut bagi saya belum bisa menutupi berbagai kekurangan keuangan atau belum bisa memenuhi kebutuhan saya. Rerata kekurangan keterbatasan biaya tersebut juga dialami sebagian teman saya yang notabenenya juga sebagai seorang dosen swasta di yayasan maupun dosen berstatus PNS.  

Ada hal yang berbeda antara saya dengan teman-teman lainnya. Rerata teman saya yang melanjutkan studi doktor,   baik di kampus tempat studi yang berbeda maupun di kampus tempat studi yang sama, selain mereka mendapatkan bantuan studi dari pemerintah, mereka juga tetap mendapatkan gaji pokok sebagai dosen tetap bagi yang berstatus dosen PNS maupun yang hanya berstatus sebagai Dosen Tetap Yayasan (non-PNS). Teman saya yang berstatus hanya sebagai Dosen Tetap Yayasan (DTY/non-PNS), mereka tetap digaji setiap bulannya berdasarkan pangkat akademik yang mereka miliki.  Misalnya saja, teman saya asal Semarang, Jember,  dan Palopo,  mereka berpangkat akademik sebagai asisten ahli. Mereka pun digaji dari yayasan tempat mereka mengajar sebanyak Rp.  2.500.000,- (Dua juta lima ratus ribu rupiah) tiap bulannya. Gaji yang diterima tersebut adalah gaji pokok. Namun,  yang tidak mereka terima (terputus), ialah gaji tunjangan karena mereka dalam masa studi. Hal tersebut otomatis kegiatan mengajar di kampusnya juga untuk sementara dihentikan selama masa studi. Namun,  gaji pokoknya tetap diterima. Beda dengan saya. Saya selama kuliah doktor,   semua aktivitas mengajar saya terputus, otomatis tidak menerima tunjangan. Karena walaupun saya tidak dalam masa studi, tetap juga saya tidak menerima tunjangan apalagi gaji pokok, nihil. Memang dari dulu kondisi kampus saya demikian. Saya tidak tahu, apakah perguruan/yayasannya yang tidak mau menggaji dosennya ataukah memang tidak ada dananya.  Tapi,  jika dilihat,  mahasiswa setiap tahunnya selalu meningkat. Intinya,  yang diterima hanya gaji mengajar saja setiap akhir semester.  Itupun tidak menentu.  Bergantung jumlah mata kuliah dan kelas yang diajar.  Jika tunjangan saja tidak ada (terputus), apalagi sepersen pun gaji pokok juga tidak ada.  Hal itulah yang terkadang membuat saya iri terhadap teman-teman. Saya terkadang pula berpikir,  "Apakah kondisi ini kebijakan dari pemerintah pusat atau kebijakan internal dari masing-masing pengelolah perguruan?". Entahlah!  Ya, sekadar iseng-iseng saja saya menanyakan.  Bagi saya,  semua itu tidak saya permasalahkan.  Apalagi,  saya menyambung hidup bukan harus bergantung dengan perguruan tempat saya mengajar.  Intinya,  syukuri saja yang ada dan semua akan ada hikmahnya. Hal yang bisa membuat saya bersyukur, karena dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi tanpa bantuan dari orang tua.  Demikian juga ketika saya menempuh pendidikan magister (S-2) di  Kota Daeng, Makassar. Dengan perjuangan, demi bisa melanjutkan studi, saya bekerja sebagai imam rawatib di salah satu masjid dan juga menjadi guru mengaji. Ya,  berkat pernah "nyantri" dan "mondok", jadinya ada bekal keterampilan dan sedikit ilmu. Honor dari pekerjaan itulah yang saya gunakan untuk membiayai hidup saya selama di Makassar.  Termasuk biaya kuliah saya.  Selain itu,  saya juga bekerja sebagai juragan fotokopi di salah satu toko buku yang ada di dekat perumahan masjid yang saya tempati. 
Bagi saya,  dengan melanjutkan studi doktor saya sekarang,  merupakan salah satu impian saya.